Create momentum ; jawa pos
NewsDemokrasiEkbisLifetrendCantikaTechnoSportHealth
Tiga Momentum Kebangkitan Jawa Pos
Editor :
-
12/09/2011
LENSAINDONESIA.COM: Setidaknya ada tiga kejadian besar yang membuat koran ini cukup besar. Revolusi Filipina, Ellyas Pical, dan Persebaya. Nyaris semua itu terjadi secara bersamaan, yakni era 1985 hingga 1987.
Kenyataannya bahwa Jawa Pos mampu mengangkat dirinya, tidak bisa dipungkiri. Jawa Pos melihat ketiga momentum itu sebagai sebuah kebangkitan. Sebagaimana negara, tidak ada negara besar tanpa revolusi. Begitu pula koran.
Revolusi Jawa Pos jelas bukan sekedar pemberontakan mencapai kemerdekaan. Melainkan perputaran ulang. Penggalangan massa (pembaca). Saat itu banyak kebutuhan pembaca yang harus disalurkan, dihargai, dan diapresiasi.
Perlawanan terhadap sekelompok manusia di arus bawah yang tidak lagi menerima suatu kehidupan ideal mulai gencar diseru Jawa Pos. Perasaan yang terhubung kepada orang lain melalui media itu membantu manusia memenuhi kebutuhannya yang terkait dengan harga diri dan pengakuan sosial.
“Banyak terobosan yang dibuat Jawa Pos. Berlomba saling kreatif, saling pinter-pinteran. Aktualisasi diri mereka tidak terbatas,” kata Slamet Oerip Prihadi, mantan redaktur senior Jawa Pos.
Tak kalah penting, Jawa Pos kemudian dijadikan sarana penyampaian informasi, sekaligus pikiran dan sikap orang terhadap informasi. Tak peduli seberapa penting informasi itu. Tapi ketika informasi tersebut menarik perhatian orang, maka tentunya juga akan direspon orang lain dan begitu seterusnya.
Rasa ingin tahu itulah yang kemudian disalurkan melalui respon masing-masing. Jadilah sarana informasi membesar bak bola salju. Jadilah, ia trending topic.
Dan, momentum Revolusi Filipina, Ellyas Pical, Persebaya dijadikan Jawa Pos sebagai momentum kebangkitan. Orang diajak untuk peduli, diajak untuk menyukai kebiasaan yang tidak biasa.
“Kebiasaan yang tidak biasa itu kemudian pembicaraan hangat. Orang, kalau belum baca Jawa Pos kok rasanya tidak enak,” kata Slamet.
Duduk sambil ngopi di warung, rasanya tidak enak kalau tidak membicarakan Revolusi Filipina. Revolusi Filipina saat itu memang menjadi sebuah kerinduan bangsa dimana negara sudah terlalu lama diam dalam kebisuan orde baru. Dan Jawa Pos memberangkatkan satu-satunya wartawan perempuan –Nani Wijaya — ke Filipina untuk meliput berita-berita tersebut.
Saat itu memang menjadi akhir dari rezim otoriter Presiden Ferdinand Marcos dan pengangkatan Corazon Aquino sebagai presiden. Nani Wijaya berhasil melakukan itu. Dia bahkan mendapat penghargaan dari Presiden Corazon Aquino. Jawa Pos kian fenomenal.
Begitu pula dengan Ellyas Pical. Dia merupakan jawaban atas kegundahan semua orang. Ketika tidak ada prestasi membanggakan, Ellyas Pical muncul dan membawa harapan bagi semua orang.
Berturut-turut sederet prestasi tingkat dunia diraih Ellyas Pical, seperti juara OPBF setelah mengalahkan Hi-yung Chung asal Korea Selatan dengan kemenangan angka 12 ronde pada 19 Mei 1984 di Seoul, Korea Selatan. Atas kemenangan ini, Pical menjadi petinju profesional pertama Indonesia yang berhasil meraih gelar internasional di luar negeri.
Sementara Persebaya, boleh dibilang muncul sebagai wujud kearogansian daerah yang dibangun Jawa Pos untuk menunjukkan superiotas kedaerahan. Dan kebetulan, Jawa Pos saat itu menjadi satu-satunya koran nasional yang terbit dari Indonesia Timur, yakni Surabaya.
“Senjata inilah (Revolusi Filipina, Ellyas Pical, Persebaya) yang dipakai Jawa Pos untuk melakukan gebrakan,” terang Slamet.
Adanya momentum ini, tentu saja tidak bisa dianggap momentum biasa. Momentum ada tapi jika tidak bisa dicreate, tentu hanya melahirkan kesia-siaan. Dahlan Iskan memodifikasi momentum dengan gaya khasnya, gaya ala Tempo. Tak ayal, tiras Jawa pos meningkat.
Slamet menambahkan, pada tahun 1986, Jawa Pos mulai bangkit. Jawa Pos sudah memiliki kader-kader terbaik. Di situ ada Margiono dan Sholihin Hidayat. Keduanya angkatan baru.
Slamet teringat, saat itu dia pernah melakukan tes wawancara wartawan terhadap Margiono dan Sholihin Hidayat. Dia tahu jika Margiono orang cerdas.
“Pak Dahlan mempunyai kader terbaik. Margiono salah satunya. Saat itu dia masih wartawan. Tapi dia wartawan yang cerdas, kutu buku. Tak semua wartawan seperti dia. Seorang Margiono bisa menulis 10 berita dalam sehari,” cerita Slamet.
Karena itu saat Margiono naik jabatan, Slamet tidak heran. Dengan posisi Margiono saat itu, banyak terobosan baru. Jawa Pos semakin kreatif. Dia juga yang mengusulkan memberangkatkan Boy Bolang, promotor tinju dunia yang pernah melambungkan nama Ellyas Pical, ke Amerika. Di Amerika Boy Bolang didapuk untuk melakukan reportase pertarungan Sugar Ray Leonard.
Itulah koran pertama dari daerah yang berhasil meliput berita tinju dunia. Sangat fenomenal. Dan, oplah pun merangsek naik.
“Satu-satunya koran daerah di Indonesia yang melaporkan pertarungan legendaris antara Sugar Ray Leonard versus Marvin Hagler,” Slamet mengenangkan pertarungan legendaris itu terjadi pada tahun 1987.
Margiono termasuk orang yang bisa menerjemahkan semua pemikiran Dahlan Iskan. Banyak hal-hal baru yang muncul sehingga Jawa Pos layak diperhitungkan media mana pun.
Begitu pula dengan Sholihin Hidayat (Kohin), di tangan Kohin Jawa Pos memiliki ruh sendiri. Jawa Pos semakin berani. Banyak perjuangan Jawa Pos yang belum terealisasi, kemudian berhasil direalisasi.
“Jawa Pos mulai melakukan reformasi kebudayaan ketika memasuki era Dhimam Abror. Di jaman Abror, satu-satunya koran yang berani mengubah tampilan kolom hanya Jawa Pos,” terang Slamet.
Saat itu semua koran di Indonesia rata-rata memiliki kolom baca 9. Ukurannya pun lebar-lebar. Barulah Jawa Pos mengubahnya menjadi 7 kolom. Ini tentu inovasi baru dalam dunia media.
“Bentuk ukuran diubah menjadi 7 kolom, tentu bukan perkara mudah,” kata Slamet.
Banyak inovasi yang dikembangkan di era Abror. Salah satunya memunculkan Radar. Koran Radar inilah yang kemudian mengakar hingga kemana-mana, bahkan ke seluruh nusantara.
Arief Afandi termasuk pimred yang akademis, dan mungkin satu-satunya yang ada di Jawa pos. Beda pimpred, beda masa, beda orang. Dengan Arief Afandi memimpin Jawa Pos, banyak cendekiawan dan tokoh politik yang berhasil dirangkul Jawa Pos.
Masa Arief, dia berhasil meningkatkan pembaharuan di tingkat pembaca dengan menargetkan pembaca kawula muda. Diantaranya, Arief dinilai pandai ngemong Azrul Ananda, yang kemudian menjadi cikal bakal era baru (regenerasi). Hal baru inilah yang menjadi harapan besar ke depannya bagi Jawa Pos.
Ini tentu seperti dalam bayangan Dahlan Iskan: Hirarkhi yang panjang kadang hanya lahir karena tidak kompetennya pemegang hirarkhi, atau tidak fokusnya pemegang hirarki (biasanya karena banyak obyekan) atau feodalisme pemegang hirarkhi.
Era Azrul Ananda, Jawa Pos lanjut Slamet, selangkah lebih maju. Jawa Pos mulai berani menjaring generasi muda. Tentu ini tidak gampang. Di sini tren menjadi ruh Jawa Pos.
Dengan Azrul Ananda sebagai anak Dahlan Iskan, tentu sangat mudah untuk mengajukan anggaran yang besar, termasuk pembangunan DBL dan Deteksi. Seandainya orang lain, mungkin tidak akan bisa.
Tapi semua itu juga tidak akan berhasil jika tidak didasari dengan konsep yang matang. “Sebagai orang muda, Azrul mampu berbicara dengan bahasanya sendiri. Banyak perubahan yang dilakukan Jawa Pos,” kata Slamet.
Namun demikian tidak semua angin pembaharuan berhasil dilakukan Jawa Pos. Terkadang Jawa Pos, mengalami distorsi. Pembangunan publik opinion tidak terasa seperti ketika era pendahulunya.
“Jawa Pos kurang landep (tajam). Daya kreatifnya kurang. Angin pembaharuan tidak greget. Tidak ada salahnya jika Jawa Pos kembali ke fitrahnya,” pungkas Slamet.bersambung/novi/LI-07
Berita SebelumnyaPM Yunani Tolak Bicarakan Standar Diluar Zona Euro
Berita SelanjutnyaKuota Tambahan Calhaj Jatim Belum Ditentukan
Divonis 2 tahun penjara, Dahlan Iskan tetap jadi tahanan kota
Dahlan Iskan divonis 2 tahun penjara: Ini pelajaran untuk para dirut
Beri kuliah umum di UNUSA, Wapres JK ajak generasi muda jadi enterpreneurship
DISCLAIMER PEDOMAN MEDIA SIBER TENTANG KAMI SITEMAP
© 2010-2017 LICOM | LensaIndonesia.com
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home