China dan kebudayaan
China dan Kemanjuan
( Politik dan Ekonomi.)
Ketika berkunjung ke Asian Business School di Shanghai, seorang dosen mengatakan kepada saya bahwa " Di sini kami tidak hanya belajar bagaimana menghitung biaya, menemukan tekhnologi, bersikap tegas, marketing tapi yang lebih penting mempelajari budaya yang membuat orang punya karakter tersebut. Tidak ada yang tak bisa di pelajar selagi pikiran terbuka menerima dari luar. Kami harus memahami dan belajar dari budaya orang jepang yang mampu berhitung dengan cermat atas setiap biaya produksi. Dan kami juga belajar dari orang korea yang punya budaya tegas. Kami juga belajar dari budaya jerman yang punya ketelitian tinggi merancang tekhnologi. Kami harus belajar dari budaya orang Amerika yang piawai marketing.
Dalam perjalanan dari Beijing ke Moscow , di dalam pesawat saya bertemu dengan anak muda dari German " Tahun 2006 perusahaan tempat saya kerja di tunjuk sebagai EPC proyek pembangunan Stadion terbesar dan terbaik di dunia untuk persiapan China Olimpiade. Kami menunjuk subkontraoktor dari China. Proyek ini memang rumit dan menggunakan tekhnologi rancang bangun terakhir yang di miliki jerman. Proyek dapat di selesaikan sebelum olimpiade Beijing di laksanakan. Tahun 2010 kami di kalahkan oleh China dalam tender pembangunan stadion di London.Dan yang menyedihkan, yang mengalahkan kami adalah perusahaan china yang dulu hanyalah subkontraktor kami waku proyek olimpiade Beijing"
Dalam seminar investasi di Hongkong yang diadakan oleh bloomberg , topik yang di bahas adalah bagaimana pengusaha China lambat namum pasti menguasai saham perusahaan PMA yang berbasis tekhnologi di China.. Merek hebat kendaraan seperti Audi, Mercedez Benz dan lain lain kini mayoritas saham di kuasai oleh pengusaha muda china yang tahun 90an mereka masih kuliah di universitas. Yang hebatnya, mereka tidak dapatkan uang dari pemerintah tapi dari kemampuan mereka melakukan financial engineering dengan menggunakan financial network orang eropa dan Amerika sendiri. Sementara orang muda di Amerika dan Eropa sibuk memanjakan diri dengan seni dan business ilusi , dan akhirnya menjadi pecundang ketika lembaga keuangan mereka terpuruk dilantai bursa.
Seorang professor yang saya kenal sebagai peneliti di Harvard Buisness School adalah pelarian politik ketika revolusi kebudayaan CHina. Dia berhasil lolos bersama pacarnya. Melalui Taiwan dia terus ke menuju Amerika Serikat. Dia melanjutkan pendidikannya di Amerika dan berkarir disana. Punya dua anak. Bertahun tahun setelah pelarian itu, istrinya selalu mengalami mimpi buruk tentang kehidupan mengerikan di China. Bahkan kalau di sebut CHina, istrinya bisa kejang. Ya trauma revolusi kebudayaan tak mudah hilang dalam memori istrinya. Dia sendiri bisa berdamai dan memahami bila istrinya tak ingin sekalipun datang ke china, berharap putra putrinya tidak pernah menginjakan kakinya di CHina. Namun tahun 2010 Putranya yang lulusan harvard terbang ke Shanghi untuk memulai karir sebagai professional banker. Dua tahun kemudian, putrinya juga terbang ke Shenzhen untuk menjadi professional marketing..
" Kami lari dari revolusi kebudayaan karena kami sadar itu adalah kebodohan bagi pemimpin CHina. Dulu tahun 1969 kami melarikan diri keluar dari China karena tidak ingin kebebasan d kekang. Dan kini anak anak kami yang hidup didunia bebas kehlangan pekerjaan karena krisis ekonomi dan mereka memilih china untuk masa depan yang lebih baik. Salahkah sikap kami dulu ataukah pura putri saya yang benar bahwa revolusi kebudayaan lahir karena China inginkan perubahan. dan generasi kini mendulang manfaatnya " Demikian katanya ketika berkunjung ke Bali. " Indonesia adalah sorga di dunia dan sorga pemikiran dan orang orang sini masih punya euforia akan sorga yang di janjikan Tuhan. Mungkin karena itu Investor asing tidak perlu kawatir datang ke Indonesia seperti mereka datang ke china yang akhirnya di kalahkan Chiina.." Demikian penilaian teman itu selama kunjungan ke Indonesia..
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home