Sunday, June 25, 2017

Kelas menengah indonesia

Kelompok Menengah..
Di Jakarta, kalau saya ingin minum secangkir hot capucino di Starbucks, kadang  tak selalu tersedia korsi yang kosong. Hampir semua outlet Starbucks selalu ramai dikunjungi konsumen. Padahal harga secangkir kopi setara dengan USD 4. Itu sama juga dengan dua kali penghasilan sehari orang yang dikatagorikan miskin oleh BPS yang berjumlah 123 juta orang di Republik ini. Kalau anda pergi ke kawasan BLOCK CITY seperti Kelapa Gading, BSD, Modern Land, Lippo dan lain lain maka anda akan temui mereka tinggal dan beraktifitas. Lingkungan yang nyaman, tertip dan aman. Belum lagi tingkat disiplin yang tinggi karena system lingkungan yang tertata rapi, yang sehingga selalu bersih dari sampah yang menusuk hidung.
Ketika duduk santai sambil menikmati secangkir kopi maka saya perhatikan para pengunjung sebagian asyik dengan Note book, Tablet, Iphone. Tentu mereka sedang berinteraksi dengan pihak lain melalui device communication nya yang terhubung dengan WIFI.  Melihat suasana di Starbucks , saya merasa berada di Orchard Singapore atau di Causeway Bay Hong Kong atau di CItic Plaza Shenzhen atau dockland London. Mereka adalah kelompok kelas menengah Indonesia yang jumlahnya sejak sepuluh tahun belakangan ini bertambah dua kali lipat.
Pada tahun 1999 kelompok kelas menengah baru 25 persen atau 45 juta jiwa, namun satu dekade kemudian melonjak jadi 42,7 persen atau 93 juta jiwa. Sedangkan jumlah kelompok miskin berkurang dari 171 juta jiwa menjadi 123 juta jiwa. Data itu direkam dari survei sosial ekonomi nasional  yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik pada 1999 dan 2009 . Cara  membedakan kelompok miskin dan kelas menengah dengan memilah jumlah pengeluaran individu per hari. Yang dimaksud kelompok miskin adalah penduduk dengan pengeluaran di bawah US$2 per hari.
Sedangkan, pengeluaran US$2 ke atas atas tergolong kelas menengah yang dikelompokkan dalam sejumlah kategori.  Kategorinya sebagai berikut. Kelas menengah bawah adalah mereka yang pengeluarannya sejumlah US$2-4 per hari, menengah-tengah US$4-10, menengah-atas US$10-20, dan kelompok berkecukupan dengan pengeluaran US$20 per hari. Berdasarkan data itu, jika diperinci lebih jauh, selama sepuluh tahun, kelompok menengah-bawah telah naik dua kali lipat dari 37 juta menjadi 69 juta jiwa. Kelompok menengah-tengah meningkat hampir tiga kali lipat ,dari 7,5 juta menjadi 22 juta jiwa. Kelompok menengah-atas naik lima kali lipat dari 0,4 juta menjadi 2,23 juta jiwa. Sedangkan, kelompok berkecukupan naik 0,1 juta menjadi 0,37 juta jiwa.
Saya tidak tahu  apakah data tersebut valid ? Namun yang saya tahu pasti era dua periode SBY memang kelompok menengah bertambah seiring meningkatnya APBN yang telah tembus Rp. 1000 triliun. Lantas bagaimana bisa tumbuhnya kelompok menengah ini? Apakah dikarenakan daya dukung produksi nasional memang meningkat ?  Menurut saya, ini bukan didasarkan kepada meningkatnya produksi riil yang berbasis SDM dan creativitas tekhnology tapi lebih dipicu oleh naiknya harga komoditas yang berhubungan dengan Sumber Daya Alam, seperti minyak, CPO, Coal, Coklat, dll. Kenaikan harga komoditas ini menguntungkan kelompok menengah yang terlibat didalamnya. Mereka adalah para professional, pedagang, Karyawan, buruh , PNS , politisi dan lain sebagainya. Ditambah lagi, business turunan dari kenaikan harga komoditas itu berkembang pesat dalam maraknya pasar domestik yang umumnya berbasis produk import. Penjualan mobil , Perumahan , barang elektronik meningkat pesat. Pelanggan telp selular juga meningkat pesat bahkan Indonesia merupakan pelanggan selular nomor tiga terbersar di dunia.
Dari keadaan inilah ekonomi Indonesia tumbuh pesat di era SBY dan keadaan politik adem. Kelompok menengah menikmati pesta sepanjang tahun. Mereka dikenal Mat Nyinyir yang hanya pandai berbicara tak jelas lewat facebook , twitter dan lain sebagainya dan setelah itu mereka lebih suka nonton konser artis dari luar negeri. Liburan ke manca negara. Tahun 2013  Ketika harga komoditas turun dan ekspor juga menurun maka kelompok menengah inipula yang paling banyak mengeluh. Tak sedikit yang menyalahkan pemerintah. Tadinya ketika Amerika , Eropa Barat dan Jepang memanjakan SBY  dengan hutang dan investasi, tak ada gaung nasionalisme. Bahkan bagi mereka bekerja di perusahaan asing adalah kebanggaan. Lulusan universitas terbaik berlomba lomba bekerja dengan asing. Tahun 2014 ketika Pilpres,  Silent Mayority  yang merupakan kelas menengah ini yang menjadi pemilih JKW dan juga PS, yang selisihnya kecil sekali.
Kini di Era Jokowi, ketika orientasi pembangunan dari konsumsi ke produksi di canangkan dan business non-tradable di pangkas, maka mulai bangkit nasionalisme dan paranoid asing atau aseng. Bahkan ada yang bernostalgia untuk kembali ke era Orde Baru. Namun banyak pula yang tetap sadar untuk tetap berpikir positip. Contoh lahirnya gerakan Teman Ahok adalah kesadaran kelompok menengah yang ingin tegaknya keadilan sosial yang di kelola dengan cara modern dan transfarance. Walau masih ada sebagian besar kelas menengah yang rentan, pragmatis namun tetap sebagai potensi besar untuk lahirnya Indonesia baru. Apalagi kelompok menengah dan atas ini menguasai diatas 70% sumber daya keuangan nasional. Mereka eksis dan patut dikelola dengan cerdas. Kehebatan kelompok menengah yang akhirnya menjadi locomotive pertumbuhan ekonomi berkelanjutan telah dibuktikan oleh China, Korea, Taiwan, Jepang dan Malaysia.
Inilah tantangan dan sekaligus resiko politik dibalik peluang kebijakan pro-produksi Jokowi. Kelas menengah yang lahir di era SBY  90% berasal dari business rente atau non tradable. Ini bukan potensi untuk bisa menjadi mesin ekonomi nasional. Mereka renta dan pragmatis. Makanya perlu revolusi mental. Apakah Jokowi tergantung dengan kelas menengah seperti itu ? tidak. Dari postur APBN dan meluasnya dukungan dana untuk UKM, sektor informal , dana desa , perluasan pembangunan insfrastruktur ekonomi tak lain adalah re-design masyarakat kelas menengah baru yang tidak lahir dari  rente tapi dari kegiatan produksi. Dari rekayasa APBN maka social engineering terbentuk, dan mereka yang berada di comfort zone bisa berubah untuk kreatif beproduksi. Yang engga mau berubah jadi haters dan hanya masalah waktu mereka akan digilas oleh arus perubahan itu sendiri..Maka indonesia di masa depan akan punya kelas menengah yang kuat untuk lahirnya ke

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home