Monday, June 19, 2017

Hilman fajrian

BISNIS ABAD KE-20 DI ABAD KE-21

Ada suatu masa ketika kita, generasi 80-an, merayakan gaya hidup dengan pergi ke mal. Nongkrong di kedai-kedai kopi atau makanan cepat saji bersama teman berjam-jam. Mungkin bukan karena kulinernya enak, tapi juga agar terlihat keren oleh orang yang lalu-lalang. Dilanjutkan dengan masuk ke toko-toko mahal dan keluar menenteng tas belanjaan bercap merk terkenal. Pada suatu ketika di tahun 90-an di Balikpapan, menenteng tas plastik Hero itu bukan main hebatnya.
.
Mal tak hanya jadi pusat dimana barang dan jasa dipertukarkan. Tapi juga wadah untuk menegaskan siapa kita di hadapan orang lain, di kelompok mana kita berada, dan seberapa tinggi nilai sosial kita. Mahalnya harga kopi atau makanan cepat saji yang kita bayarkan di mal, tak semata-mata mengandung nilai produksi. Tapi juga kandungan nilai sosial atau social currency yang mesti kita tebus.
.
Unfortunately, Ngemol is so yesterday. Dan ngemol adalah untuk orang-orang 'kemarin' seperti kita. Makin hari, setiap jalan ke mal, yang saya lihat yang bertajak di kedai-kedai kopi mayoritas 'orang-orang tua' seperti kita yang berusia 30-40-an. Anak-anak usia belasan atau 20-an, sangat minim, nyaris tidak tampak. Kemana mereka pergi? Dimana dan bagaimana mereka menghabiskan uang orangtua mereka? Lewat cara apa mereka meningkatkan status sosial?
.
Remaja dan anak-anak muda ini ternyata berkumpul pada  tempat dan aktivitas yang sangat terdisparitas -- segala sesuatu yang dulu belum mungkin dilakukan karena keterbatasan teknologi. Mereka meningkatkan nilai sosial lewat cara-cara yang dulu belum terpetakan. Anak-anak ini dengan mudahnya membentuk kelompok dan berinteraksi dengan cara baru.
.
Dulu, aktivitas apa sih yang bisa dilakukan seorang anak di rumah? Paling-paling hanya nonton tivi dengan jumlah channel yang terbatas, atau main video game. Mereka juga terputus secara sosial dalam sebuah kurungan bernama rumah. Tak bisa bertemu dan berinteraksi dengan teman-teman. Hampir tak ada nilai sosial yang bisa ditingkatkan seorang anak hanya dengan berada di dalam rumah, kecuali belajar agar dapat peringkat bagus di sekolah. Mereka harus keluar dari kurungan agar bisa berinteraksi dengan teman dan mengelola nilai sosial. Dan destinasi populernya adalah mal, atau kawasan nongkrong elit.
.
Tapi bagi anak-anak sekarang, rumah bukan lagi sebuah kurungan sosial. Mereka tetap bisa terhubung dengan teman dan dunia lewat teknologi. Di sana tersedia berbagai macam aktivitas yang tak hanya bisa memenuhi berbagai kebutuhan, tapi juga mampu meningkatkan nilai sosial. Munculnya aktivitas-aktivitas baru ini kemudian melahirkan nilai sosial yang dulu belum pernah ada. Orangtua heran bagaimana anaknya bisa punya 5.000 teman dan 10.000 fans hanya karena ia adalah seorang pemain video game yang jarang keluar kamar. Atau anak yang mengubah kamarnya jadi studio mini dan bicara sendiri di depan kamera, lalu bilang kepada orangtuanya, 'Aku ini Youtuber, mah! Subscriber-ku sudah 50.000. Aku ini ngetop di Youtube!'. Mamanya bingung, apa pula itu Youtuber? Apa pula itu subscriber? Bagaimana caranya bisa ngetop kalau keluar kamar saja tidak pernah?
.
Pertukaran informasi yang begitu kencang dan luas yang dimiliki anak-anak kita sekarang tak hanya mengubah besarnya wawasan. Tapi juga nilai sosial yang bergeser dari kepemilikan ke pengalaman. Zaman kita dulu, yang keren itu adalah bila punya jam Benetton, sepatu LA Gear, atau baju Quicksilver. Karena hanya itu yang bisa kita lihat lewat iklan atau megahnya gerai mereka di mal. Kita tak memiliki akses informasi yang cukup bahwa ada banyak hal-hal bernilai di luar Benetton atau LA Gear untuk menegaskan betapa kerennya kita. Sekarang, mereka bisa dengan mudah mengetahui betapa indahnya Labuan Cermin, Kalibiru atau Raja Ampat dari foto kawan-kawan mereka di media sosial. Dan betapa pengalaman-pengalaman tersebut mampu meningkatkan status sosial dan membuat orang tampak sangat keren meski tak harus pakai jam tangan mahal.
.
Sampai pada titik inilah mal sebagai pusat aktivitas sosial, manajemen reputasi, dan tempat belanja, berada di tubir jurang. Bila mal diandaikan sebagai sebuah platform yang dulunya bisa digunakan sebagai wadah aktivitas dan peningkatan nilai sosial, kini mereka harus bersaing dengan platform-platform baru yang berhasil mengubah sifat aktivitas, nilai sosial, interaksi dan belanja. Sama halnya dengan bisnis media cetak yang dibinasakan media online. Orang tetap butuh membaca, mendapatkan informasi, belajar, dan mengembangkan wawasan. Tapi mereka sudah berpindah platform yang jauh lebih powerful. Dalam kasus mal, konsumen tetap perlu belanja, beraktivitas, menemukan pengalaman baru, dan meningkatkan nilai sosial. Namun konsumen atau generasi saat ini sudah memiliki platform lain dan cara-cara baru untuk itu.
.
Ketika mal hanya didatangi karena konsumen ingin nonton bioskop, mereka juga harus sama cemasnya dengan bioskop yang mulai terdisrupsi oleh VOD. Atau bila mal ramai karena di sana ada restoran enak, mereka tetap harus khawatir dengan munculnya pusat-pusat kuliner baru. Department Store mungkin masih ramai oleh orang yang ingin beli pakaian. Namun dengan tergerusnya jumlah pelanggan Dept Store karena toko online (yang di Indonesia produk fashion menduduki perjualan online tertinggi), keberlanjutannya juga harus dicemaskan karena model bisnis mereka yang berbiaya tinggi.
.
Masih terlalu dini mengatakan bisnis mal akan mati. Yang mati adalah mereka yang tak mau berubah. Mal yang tutup adalah mal yang menerapkan cara berbisnis abad ke-20 kepada konsumen abad ke-21.(*)
#Opini

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home