Tuesday, May 16, 2017

Langsung ke Marketplace - google search tidak relevan

Tech in AsiaToggle navigation

Tech in Asia

FOLLOW US ON 

[Opini] Akan Ada Korban dari Perang para Raksasa Digital Cina di Asia Tenggara

2Comments

Sheji Ho5:00 PM on May 13, 2017

372

Dalam sebuah presentasi di acara Digital-Life-Design 2015, Scott Galloway—profesor di New York University dan seorang entrepreneur kawakan—mencetuskan istilah “Empat Penunggang Kuda” untuk menyebut empat perusahaan digital terbesar dunia yang memiliki total nilai kapitalisasi pasar sebesar US$1,3 triliun (sekitar Rp17.300 triliun) pada tahun 2014. Empat perusahaan itu adalah GoogleFacebookApple, dan Amazon.

Teori Empat Penunggang Kuda milik Galloway diambil dari sudut pandang yang berpusat pada dunia Barat. Apabila kita pindah ke wilayah Timur, kita akan melihat adanya poros-poros kekuatan yang berbeda. Poros-poros adidaya ini paling jelas terlihat di Cina, namun perlahan juga muncul di Asia Tenggara.

Kisah Tiga Kerajaan

Poros kekuatan di Cina yang mirip dengan Empat Penunggang Kuda adalah BAT, singkatan dari nama “Tiga Kerajaan” terbesar di Cina: BaiduAlibaba, dan Tencent.

Baidu: sang raksasa search engine

Perusahaan yang sering disebut “Google dari Cina” ini mendapat sebagian besar pemasukan dari iklan di search engine. Tapi berbeda dengan Google, Baidu mengalami kesulitan untuk tetap relevan di dunia yang begitu cepat bergerak ke arah mobile dan e-commerce.

Dominasi Alibaba membuat tren pencarian produk berpindah, dari search engine seperti Baidu menjadi langsung ke platform e-commerce seperti Taobao dan Tmall. Hal yang sama terjadi juga di Barat, di mana lebih dari 55 persen pencarian produk kini terjadi langsung di Amazon tanpa melewati Google. Ini masih belum termasuk dampak yang ditimbulkan Alexa (aplikasi asisten virtual Amazon) terhadap Google.

Alibaba: raja e-commerce dan berbagai bidang lain

Alibaba adalah raja e-commerce yang menguasai lebih dari delapan puluh persen perdagangan online di Cina, baik B2C ataupun C2C. Selama dua puluh tahun terakhir, Jack Ma telah berhasil mengembangkan dinasti yang bahkan mengalahkan adidaya Jeff Bezos sang founder Amazon.

Dengan ekspansi dan investasi di bidang periklanan, kesehatan, hiburan, dan transportasi, Alibaba telah menjadi lebih dari sekadar e-commerce. Bisnis periklanan digital milik Alibaba di tahun 2016 meraih porsi pemasukan terbesar di Cina dengan angka 28,9 persen, melampaui Baidu yang hanya 21,3 persen. Angka ini diperkirakan tumbuh hingga 33,7 persen pada tahun 2018.

Tencent: game dan WeChat

Tencent adalah perusahaan terbesar dalam BAT dari sisi kapitalisasi pasar. Pada tahun 2017, kapitalisasi pasar Tencent bernilai US$300 miliar (sekitar Rp3.900 triliun), sementara Alibaba US$288 miliar (sekitar Rp 3.800 triliun) dan Baidu US$60 miliar (sekitar Rp799 triliun). Tencent dikenal sebagai pemilik aplikasi WeChat yang sangat populer, dengan sumber pemasukan utama dari video game serta konten-konten digital (layanan bernilai tambah) lainnya.

Perusahaan ini telah berkecimpung di dunia e-commerce sejak awal tahun 2000an sebelum akhirnya menyerah dan berinvestasi di kompetitor Alibaba, yaitu JD. Saat ini, Tencent merupakan pemegang saham tertinggi di JD dengan nilai 21,25 persen, lebih tinggi dari saham milik Richard Liu Qiangdong, founder sekaligus CEO JD, sebesar 16,2 persen.

Tiga Kerajaan berubah jadi Empat Penunggang Kuda

Dengan meningkatnya permintaan global akan ride sharing dan on-demand service, Didi Chuxing muncul sebagai kekuatan besar keempat di Cina. Perusahaan ini adalah hasil dari perang saudara antara dua perusahaan transportasi, yaitu Didi Dache (didukung oleh Tencent) dan Kuaidi Dache (didukung oleh Alibaba).

Kedua perusahaan tersebut akhirnya bergabung sehingga melahirkan Didi Chuxing. Mereka kemudian mengakuisisi Uber China dan menjadi perusahaan pribadi terbesar ketiga di dunia, di bawah Uber dan Ant Financial.

Didi baru saja mendapatkan pendanaan senilai US$5,5 miliar (sekitar Rp73 triliun), menaikkan nilai valuasi perusahaan tersebut ke angka US$50 miliar (sekitar Rp666 triliun). Investasi ini membantu Didi melakukan ekspansi global dan mengembangkan teknologi kendaraan otonom.

Ada kemungkinan Baidu mengalami nasib seperti Yahoo!, sehingga banyak yang memperkirakan bahwa posisinya sebagai salah satu “penunggang kuda” di Cina akan digeser oleh Toutiao. Aplikasi pembaca berita ini sekarang memiliki nilai valuasi sebesar US$11 miliar (sekitar Rp144 triliun), dengan jumlah pengguna aktif harian (DAU) sebanyak 78 juta orang dan 175 juta pengguna aktif bulanan (MAU). Rata-rata pengguna Toutiao menghabiskan 76 menit per hari dalam aplikasi tersebut.

Perang kekuasaan di Asia Tenggara

Pasar digital Asia Tenggara memang masih tergolong baru, tapi sudah memiliki banyak kisah sukses di ranah lokal. Misalnya Tokopedia dan GO-JEK di Indonesia, serta GrabGarena (sekarang bernama Sea), dan Lazada yang kuat secara regional.

Akan tetapi, bila kita melihat kondisi di balik layar, sebenarnya tengah terjadi proxy war (perang kekuasaan) di antara para raksasa teknologi dari Cina. Kemungkinan perang ini akan memakan korban dari pemain lokal.

Alibaba menggebrak masuk ke wilayah Asia Tenggara dengan membeli Lazada—akuisisi terbesar yang dilakukan Jack Ma hingga saat ini. Kekuatannya yang begitu besar akhirnya memaksa para pemain e-commerce lokal untuk bergabung (contohnya Orami) atau menyerah (contohnya Ascend Group).

BACA JUGA

Masuknya raksasa Cina bisa juga berdampak baik bagi pengusaha lokal

Berbeda dari Alibaba, JD masuk ke Indonesia secara organik di tahun 2015 untuk uji coba, dan sekarang dikabarkan tengah berencana menyuntikkan investasi besar pada Tokopedia. Kabar ini muncul setelah GO-JEK mendapat investasi senilai US$1,2 miliar (sekitar Rp16 triliun) yang dipimpin oleh Tencent (pemegang saham terbesar JD), menggelembungkan nilai valuasi perusahaan transportasi on-demand itu menjadi US$3 miliar (sekitar Rp40 triliun).

Jangan lupa, ada Didi Chuxing juga. Setelah mengakuisisi Uber China, turut serta dalam aliansi anti Uber bersama Lyft dan Grab, serta berinvestasi senilai US$350 juta (sekitar Rp4,7 triliun) di Grab, Didi Chuxing sudah punya cukup pengalaman beroperasi di pasar internasional, utamanya Asia Tenggara.

Setelah mendapat pendanaan besar, Didi mungkin akan mengincar perusahaan-perusahaan lain di Asia Tenggara, entah sebagai kawan atau lawan.

“Penunggang kuda” keempat di Asia Tenggara

Asia Tenggara kini punya kubu Alibaba (Lazada), kubu Tencent (Tokopedia, GO-JEK, atau Shopee), dan kubu Didi Chuxing. Masih ada ruang untuk satu “penunggang kuda” lainnya. Kubu keempat ini tidak datang dari Cina, tapi akan diisi oleh Facebook atau Google. Saya bertaruh pada Facebook.

Ini bisa jadi bahan untuk artikel tersendiri, tapi secara singkat alasannya sebagai berikut:

Aset Google terbatas pada mesin pencari, sebab di Asia Tenggara tidak ada inventaris ruang iklan untuk penerbit iklan long tail yang sangat penting agar ekosistem display advertising bisa bersaing melawan Facebook.Iklim teknologi Asia Tenggara mengutamakan perangkat mobile (mobile-first), bahkan di beberapa kasus malah bersifat eksklusif (mobile-only). Tidak banyak pengguna perangkat mobile yang memanfaatkan mesin pencari.Lonjakan e-commerce di Asia Tenggara menggerus bisnis pencarian produk milik Google. Setelah diakuisisi Alibaba, Lazada akan meniru strategi monetisasi iklan milik Tmall. Survei dari EcommerceIQ menunjukkan bahwa di Indonesia, 57 persen pengguna memulai pencarian produk langsung di marketplace seperti Lazada dan Tokopedia, tanpa melewati Google.

Mengapa Asia Tenggara? Alasannya tak kasatmata

Mengapa tetangga kita di Cina tiba-tiba berminat pada Asia Tenggara? Inilah beberapa alasan yang sudah jelas dan sering kita dengar:

Secara geografis, Asia Tenggara dekat dengan CinaPasar yang besar dan tak tersentuh, dengan 600 juta penduduk dan kelas menengah yang terus tumbuhPertumbuhan ekonomi Cina sedang melambat, dan perusahaan BAT punya banyak uang untuk dihabiskan pada ekspansi globalKemiripan kultur: Asia Tenggara merupakan rumah bagi komunitas etnis Tionghoa terbesar di luar negaranya (lebih dari 25 juta jiwa)

Alasan sebenarnya bukan hal-hal di atas, tapi karena kondisi Asia Tenggara—lebih tepatnya negara-negara berkembang Asia Tenggara seperti Thailand, Indonesia, dan Vietnam—sangat mirip dengan Cina sepuluh tahun lalu. Apalagi bila kita melihat dari sisi model bisnis yang dominan, iklim periklanan digital, dan penggunaan perangkat mobile.

Model bisnis utama: Ad-drivenvs commerce-driven

Perusahaan-perusahaan Cina sudah sejak lama menekuni e-commerce dan transaksi sebagai sumber monetisasi. Contoh yang paling terkenal tentu saja Tencent.

Pada tahun 2016, hanya 18 persen pendapatan Tencent berasal dari iklan. 71 persen sisanya datang dari layanan bernilai tambah yang terdiri atas game online, penjualan benda-benda virtual, serta musik digital. Ini sangat kontras dengan Facebook, yang pada tahun 2016 mendapatkan 98 persen pemasukan dari iklan.

Contoh lain misalnya Quora, layanan tanya jawab yang sekarang bernilai US$1,8 miliar (sekitar Rp24 triliun). Meski sudah delapan tahun beroperasi, strategi terbaik yang bisa mereka gunakan masih terbatas pada iklan kontekstual berbasis teks yang intrusive, sebagaimana dicetuskan Google pada tahun 2003.

Tidak ada ekosistem penerbit iklan long tail

Akar dari model bisnis Cina yang berpusat pada commerce adalah ekosistem periklanan online yang masih buruk, ditambah masalah penawaran dan permintaan yang bagaikan buah simalakama.

Masalah penawaran

Persebaran internet di Cina dan negara-negara berkembang Asia Tenggara baru mencapai puncaknya di tengah tahun 2000an. Pasar ini melewatkan sebagian besar era Web 1.0 serta “Web 1.5”, dan langsung loncat ke era Web 2.0. Hasilnya, pembuatan konten digital terjadi paling banyak di platform media sosial tertutup seperti Facebook, atau di portal-portal yang terintegrasi secara vertikal, misalnya Sina dan Sanook.

Tidak seperti di Amerika Serikat, tidak ada jutaan situs atau blog yang menjadi basis jaringan serta program iklan online. Lebih parah lagi, platform tertutup seperti Facebook atau Sina menjual sebagian besar (mungkin semua) ruang iklan mereka langsung ke konsumen.

Peran penerbit iklan diabaikan, sehingga pemilik platform memperoleh keuntungan lebih tinggi. Fenomena ini disebut sebagai ekosistem “No-Tail”.

Masalah permintaan

Tidak adanya inventaris iklan berkualitas akhirnya mendorong pemasang iklan untuk membeli ruang langsung kepada pemilik platform tertutup, seperti Facebook. Kurangnya kebutuhan akan jaringan iklan seperti Google Display Network di Asia Tenggara menghasilkan rasio RPM (revenue per mille) yang sangat rendah, sehingga insentif untuk para kreator konten pun ikut rendah.

Para kreator konten ini akhirnya harus mencari sumber pemasukan lain. Kini berjualan barang di Facebook atau Instagram telah menjadi salah satu cara paling populer dan menguntungkan untuk mencari uang di Asia Tenggara.

Di Thailand, social commerce seperti ini telah menyumbang kurang lebih 33 persen dari keseluruhan gross merchandise value (GMV) bidang e-commerce. Sementara di Cina sendiri, para kreator konten memanfaatkan WeChat dan berbagai aplikasi live video yang sedang naik daun untuk berjualan barang serta mendapat pemasukan dari transaksi benda virtual.

Mobile-first, mobile-only

Satu lagi kesamaan besar antara Cina dan negara-negara berkembang Asia Tenggara adalah bahwa keduanya mempunyai ekosistem internet yang mobile-first, bahkan mobile-only di beberapa daerah.

Perusahaan-perusahaan startup baru di Cina lazimnya membangun produk yang fokus pada pengguna mobile terlebih dahulu, kemudian ekspansi ke desktop belakangan. Fenda, sebuah aplikasi asal Cina yang menyerupai hibrida Reddit dan Quora, mengawali bisnisnya di WeChat sebelum meluncurkan aplikasi dan situs web sendiri. Toutiao pun dimulai dari aplikasi mobile.

Belajar dari kesalahan masa lalu

Seluruh kemiripan ekosistem di atas menunjukkan tingginya peluang perusahaan-perusahaan Cina untuk berhasil masuk ke Asia Tenggara.

Ini bukan pertama kalinya para BAT melakukan ekspansi ke luar Cina, dan sejauh ini hasilnya beraneka ragam. Baidu pertama kali mengumumkan rencana ekspansi internasional pada tahun 2006, meluncurkan Baidu.jp di Jepang pada tahun 2007, kemudian menutupnya di tahun 2015 karena gagal mendapat traksi.

Semoga saja kali ini, Alibaba, Tencent, dan mungkin Didi Chuxing bisa belajar dari kegagalan tersebut, serta lebih percaya diri bermain di wilayah yang familier.

(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Ayyub Mustofa sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Iqbal Kurniawan)

Filed under: Digital MarketingOpini

Artikel Terkait

Penerbitan GameMancanegara, Pahami Potensi dan Tanta...

Bagaimana PotensiDigital MarketingIndonesia di Tahu...

5 Tip Growth Hacking dari CEO Hypergrowth untuk para ...

Beriklan di Televisi versus Facebook, Mana yang Efektif?

Bagaimana Pertumbuhan Perekonomian Berbasis Aplikasi di Indone...

Mirip Instagram Stories, Apakah WhatsApp Status Juga Punya Pot...

[Coffee Hour] Strategi Pemasaran Terbaik untukStartup

[Coffee Hour] Mengukur EfektivitasCampaign pada Medi...

Join our community or log in now to start posting replies!

2 COMMENTS

Sort by Newest 

Saputro Andi Pamungkas2d ago

Luar biasa opininya , banyak membawa ilmu2 baru dan bacaan yang lebih banyak :D

 0Reply

Tech in Asia User3d ago

Keren opininya.. Sangat sangat membuka wawasan.

 0Reply

  Lagi populer di Tech in Asia

POPULER DI NEW STARTUP

#1

Bukapintu Fokus Bantu Mahasiswa dan Fresh GraduateCari Pekerjaan

#2

Aplikasi Ini Permudah Pencarian Asisten Rumah Tangga hingga Sopir Pribadi

#3

J&T Alibaba Ingin Bantu Hadirkan UKM Indonesia di Marketplace B2B Global

#4

Medika App – Aplikasi Kesehatan yang Mudahkan Pasien untuk Bertemu Dokter

#5

Startup Indonesia Ini Buat The Machine dalam Serial Person of Interest Menjadi Nyata

POPULER DI GADGET

#1

IDC: Oppo dan Vivo Jadi Produsen dengan Pertumbuhan Tertinggi di Awal Tahun 2017

#2

Blue Ocean dan Mendengarkan Konsumen, Senjata Potensial Nintendo Switch

#3

Kamera 360 Derajat – Cara Baru Penyebaran Informasi yang Sarat Potensi

#4

Gadget Terbaik di Gelaran CES 2017 Pilihan Tech in Asia Indonesia

#5

Nokia 6, Smartphone Pertama dari HMD Global yang Hanya Akan Dijual di Cina

POPULER DI MOBILE

#1

Twitter Akan Fokus Incar Pengguna di Luar Kota Besar di Tanah Air

#2

Potensi dan Tantangan Teknologi Chatbot dalam Pandangan LINE Indonesia

#3

Neural Machine Translation Buat Hasil Terjemahan Google Translate Lebih Akurat

#4

5 Aplikasi Mobile di Indonesia yang Berpotensi Ikuti Kesuksesan WeChat

#5

Kaskus Resmi Rilis Kaskus Chat untuk Mempermudah Interaksi Antarpengguna

COPYRIGHT © 2017 TECH IN ASIA. ALL RIGHTS RESERVED.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home