Friday, July 29, 2016

Teori bagus nih

MENYIASATI TEORI LAMA-BARU:
Baty Subakti
    
       
Disadari atau tidak, sebenarnya banyak sekali teori atau model komunikasi lama yang kini kembali dijadikan rujukan oleh para praktisi periklanan dan pemasaran modern. Sebagian lagi diserap hanya dengan perubahan kecil saja. Berbagai teori atau model tentang Consumer Profile, Consumer Behavior, Purchasing Habit, Audience Response, atau Adoption tage/Process atau Adopters Category misalnya, memang tetap relevan jika diterapkan pada era digital sekarang.
Dalam kaitan media sosial melalui internet, model yang agak berbeda mungkin hanya yang ditawarkan Forrester (2007). Karena meski dia juga melihat proses pembelian oleh konsumen sejak kontak mata pertama dengan produk terkait, hingga terjadinya pembelian dan penganjuran oleh konsumen tersebut, namun membagi pentahapannya dalam  bentuk Involvement, Interaction, Intimacy, dan Influence. Dia menyebut modelnya ini sebagai Modern Marketing Funnel.
Berbagai teori/model tersebut memang ada yang sekadar berganti nama, namun tak sedikit yang seluruhnya diserap sebagaimana aslinya. Terakhir Sannon Stucky (2013) menawarkan model Awareness, Consideration, Preference, Action, Loyalty, Advocacy. Istilah Advocacy ini kemudian banyak digunakan sebagai bentuk lain dari istilah-istilah Share, Ambassador atau Evangelist sampai Tribes.

Contoh yang paling menarik dan kentara adalah pada istilah-istilah Consumer (Decision) Journey, Marketing Funnel, Sales Funnel, Purchase/Purchasing Funnel, Business Sales Funnel, bahkan Consumer-Focused Marketing Model. Keenam istilah ini memiliki konsep dasar yang sama, yaitu adanya pentahapan dalam proses pembelian sesuatu produk oleh konsumen. Dari pengenalan awal, hingga akhirnya membeli atau mengulang beli dan menjadi penganjur.
Yang lebih menarik lagi, adalah bahwa semua teori/model itu berakar dari model-model "kuno" tentang tanggapan khalayak atau Audience Response. Bahkan model AIDA yang terkenal itu sebenarnya sudah berusia 118 tahun, karena Elias SE Lewis pertama memperkenalkannya di tahun 1898. Meski para akademisi lebih banyak yang merujuknya sebagai model AF Sheldon (1911) atau EK Strong (1925). Tapi siapa pun yang kita rujuk, model itu tetap "kuno" bukan? Padahal itulah itulah cikal bakal segala model "funnel' yang kini amat populer dan digandrungi para Pemasar itu. Jadi kalau sekarang, karena adanya internet, jangan heran pula kalau misalnya lalu muncul AISAS (Awareness, Interest, Search, Action, Share) atau yang kini lebih dikenal sebagai Dentsu Way (2004).   

Seluruh situasi di atas dapat membingungkan bukan saja bagi para mahasiswa dan dosen komunikasi atau pemasaran di kampus-kampus, namun juga bagi para praktisi yang minim "jam terbang". Karena identitas yang berbeda memang dapat berarti makna yang berbeda pula. Padahal, sebenarnya banyak yang hanya nama teori atau modelnya yang  berbeda, tetapi konsep atau ide dasarnya sama. Bagaimana menyiasatinya?

Selain ikut mengasuh, saya kebetulan juga mengajar Advertising Media Planning di ITKP, kampus khusus periklanan. Pada mata kuliah ini saya menganjurkan para mahasiswa untuk menggunakan model Hierarchy of Effects (Lavidge & Steiner, 1961) sebagai rujukan utama dalam membahas  Audience Response. Khususnya dalam menentukan tingkat intensitas Media Objective dari sesuatu kampanye. Namun demi obyektivitas akademis dan merangsang penalaran dan pengembangan oleh mahasiswa, saya tetap memberikan rujukan pada semua teori/model Audience Response. Tentu dengan sedikit latarnya masing-masing. Hal itu bahkan saya diskusikan sejak AIDA pertama diperkenalkan, hingga pasca Hierarchy of Effects itu sendiri.

Begitu pula yang saya lakukan saat membahas berbagai teori tentang frekuensi efektif. Meski karena pengalaman sebagai praktisi periklanan, saya menganjurkan menggunakan teori logaritmis Zielske (1959, 1981), namun tetap memberi rujukan pada teori-teori lain yang "lebih baru" seperti Saturated Depression (Grass), Diminising Return (Max), dan Linear (Achenbaum) sebagai pembanding. Ini berarti saya membuka nalar mahasiswa pada rentang teori di kurun lebih dari 50 tahun ke belakang.

Contoh lain, dalam membahas teori lama tentang Segmentation, saya tidak berhenti sampai pemilahan Geography, Demography, Psychography dan Behavioristic. Saya mendiskusikan bahwa istilah Consumer Insight yang digunakan para praktisi sekarang sebenarnya tak lebih dari pendalaman Segmentation, khususnya dari aspek Psychography dan Behavioristic. Juga bahwa Targeting dan Positioning yang dulu selalu menyertai kegiatan Segmentation, kini punya perspektif 'big data' dan 'automation'. 

Menurut saya, hanya dengan melakukan hal-hal seperti itu kita dapat membuat berbagai teori/model yang kita tularkan kepada para mahasiswa bukan saja tetap relevan dan tepat guna, namun juga dapat mereka perdalam dan kembangkan sendiri.


0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home