Sunday, February 25, 2018

Perang ideologi

RADIKALISME SUDAH DI MEJA MAKAN KITA I Tanggal 14 Februari lalu, sejumlah aktivis media sosial merayakan Hari Valentine dengan cara yang cukup unik, absurd, tapi menyenangkan. Lucunya, di saat justru dunia medsos lagi sepi menyanyikan lagu lama, berdebat halal haram Hari Valentine, yang sebenarnya tak lebih perayaan hahahihi di lingkungan anak muda untuk menunjukkan kasih sayang. Diskusi itu sendiri, dilatarbelakangi situasi yang dianggap darurat berat tentang isu radikalisasi di lingkungan kampus, terutama di PT Negeri yang ada di P. Jawa. Kalau mau dibilang, saat ini situasinya sudah dengan skor 3-0, para pegiat radikalisasi bukan saja sudah sangat unggul, bisa bersuara lebih keras, dan yang mengejutkan memiliki infrastruktur "counter pemikiran" yang lebih canggih (baca: buzzer bayaran yang jari2 tangannya mengetik lebih cepat dari cahaya). Istilahnya adalah kekuatan kelompok "bela" (yang membela negara), dengan kelompok "belah" (yang mengacak2 bangsa), sudah sangat timpang. Dimana kami menganggap seolah negara tidak hadir dan sangat abai terhadap masalah seserius ini. Karena itulah, kita mencoba menembus "inti kekuasaan", mencoba mengetuk pintu mereka, tentu dengan cara elegant mengajak berdiskusi, berdebat, dan bertukar pikiran tentang fenomena yang ternyata memang tidak spesifik Indonesia, karena nyaris terjadi di sepanjang wilayah yang akan di-khilafahkan, apa yang mereka sebut sebagai "Dari Sabang Sampai Maroko". Merauke? Ah itu sih mainan Jokowi!

Di kantor yang saat ini disebut Kepala Staf Presiden (KSP, dulu disebut Bina Graha), seolah dalam 3 jam kita kuliah 12 SKS. Saya menemukan fakta2 yang sebenarnya sama sekali tidak baru, yang baru adalah cara pandang dan memaknainya. Daripadanya, saya menemukan dua hal pokok yaitu kabar buruk dan kabar baik. Saya akan ceritakan terlebih dahulu tentang kabar buruknya. Mungkin saking jijay bajay-nya pemrakarsa awal diskusi ini, Abi Hasantoso melontarkan ajakan untuk melarang anak2 kita terlibat dalam kegiatan2 ekstra kulikuler berbau agama di lingkungan kampus. Premis ini mendapat penguatan dari Dr. Iriani Sophiaan seorang pakar ilmu hankam dari UI, yang dari penelitiannya memang membuktikan adanya upaya masif penguasaan kampus2 di lingkungan BHMN. Melalui apa yang disebut sebagai Kelompok Rohis (Rohani Islam). Gerakan ini sudah mengalami metamorphosis yang dahsyat, sejak mereka menggunakan cara2 langsung melalui kekerasaan dari era DI-TII, saat ini mereka sudah melakukan apa yang disebut sebagai "Politik Dua Kaki". Di satu sisi tetap membawa muatan radikalisasi menuju apa yang disebut Negara Islam. Sedemikian radikalinya mereka tak lagi malu menunjukkan permusuhan terhadap negara, pejabatnya, tentaranya, bahkan kepada orang tua yang dianggap sebagai "berbeda haluan". Namun di kaki lain, para eksekutifnya  dengan gaya santun tapi keras kepala, mereka melakukan cara2 soft (halus) ikut dalam sistem yang konstitusional: membentuk partai, menjadi anggota parlemen, menyusup ke berbagai organisasi pemerintahan, militer, bisnis bahkan LSM maupun pers media. Mereka menteror kita nyaris 24 jam tanpa kita sadari. Ibaratnya nyaris saat ini, mereka sudah hadir di ruang makan kita!

Sedangkan kabar baiknya adalah... Sebenarnya sih ini kabar yang lebih buruk, sedemikian buruknya, sehingga bagi saya justru saya anggap sebagai kabar baik. Ini masalah proses mereka melakukan perekrutan, pengkaderisasian, dan cuci otak yang dilakukan. Cara apa yang disebut "Sel Terputus", melalui diskusi2 cuci otak dalam kelompok2 kecil, yang dilakukan dengan berputar dan bergerak antara kelompok. Sehingga pada ujungnya mereka tidak saling mengenal, karena antara kelompok tersebut terputus. Terjaring tapi tidak tersambung. Mereka akan gagal mengenali, sebenarnya siapa yang jadi mentor, antek, atau petinggi. Sistem ini, sebenarnya bukan baru sama sekali dalam pengkaderan politik di Indonesia. Cara2 yang dilakukan HTI dan PKS ini, mencontek 100%  apa yang dilakukan oleh PKI pada masa Orde Lama. Kondisi yang pada masa puncak apa yang disebut G 30 S PKI, bahkan di lingkungan Anggota Politbiro sendiri saling kebingungan membaca situasi apa yang terjadi. Kondisi yang menyebabkan PKI yang konon, sedemikian kuat, terkoordinasi, dan lantang, hanya dengan sekali gebug bisa terkapar tak pernah bangun kembali. Sistem sel-terputus sendiri, sebenarnya tidak khas komunisme, namun mereka pun mengadopsi dan mengadaptasinya dari sistem fasisme yang dikomandani oleh Hitler sejak berakhirnya PD I. Titik kelemahan mendasar mereka: selama fasisme, atau kemudian disebut juga totaliarianisme itu bisa abadi lama berkuasa. Waktu berkuasa mereka pun (kalau itu sempat), jangka nya akan sangat pendek. Hal tersebut karena satu masalah pokok: pengingkaran tehadap harkat martabat kemanusiaan.

Intinya adalah untuk saat ini: biarkan saja mereka berbicara sesuka hati mereka. Mengkampanyekan hal2 absurd yang kita tak perlu gusar dan heran dengan berbagai hal yang sebenarnya tidak wajar dan tak masuk akal. Silahkan saja mereka mengejar 72 bidadarinya, biarkan saja mereka minum air kencing onta, biarkan mereka menolak imunisasi, biarkan mereka berpoligami sebanyak yang mereka mau, abaikan saja saat mereka memaksa untuk memilih pemimpin yang seiman. Biarkan saja mereka mengingkari "kemanusiaan" mereka. Hingga tiba di bagian yang paling krusial, dimana momentum  itu akan terjadi. Dimana mereka merasa sudah sedemikian dekat dengan kemenangan dan bisa berkuasa secara absolut. Saat itulah, mereka akan tumpas sampai ke akar2nya. Oleh siapa? Oleh siapa pun yang pada akhirnya merasa bukan bagian dari mereka! Dan saat itulah Islam kembali menjadi Rahmatan Lil Alamin. Catat: sejarah itu selalu adil dan berulang! Kita hanya harus bersabar menyaksikannya...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home