Bsns
Memahami ekonomi secara bego
( Episode : ISSUE soal hutang )
Gimana sih cara Mbah Harto mengelola Ekonomi ?
Dulu ketika Orla dan Orba Dari tahun 1970 sampai tahun 2000, kita mengenal APBN dengan format T Account. Hanya ada pos kiri dan kanan. Kiri penerimaan , dan kanan pengeluaran. Kalau bahasa encek encek namanya buku tablelaris. Semua penerimaan negara masuk ke sisi kiri. Entah itu penerimaan dari hutang maupun dari pajak atau bagi hasil tambang. Jadi rakyat tidak perlu tahu banyak soal APBN. Ini urusan Negara. Yang penting negara punya resource berupa SDA untuk menjadi undertaker kebutuhan social Rakyat. Kebutuhan pendidikan, pangan, papan, dan sandang adalah tanggung jawab negara dan karena itu pemimpin dipilih. Mengapa begitu ?
Di era Orba kita tidak memiliki modal, teknologi dan sumber daya manusia yang cukup tetapi memiliki kekayaan alam yang besar. Maka perlu investor untuk melakukan usaha di Indonesia. Dengan adanya investor maka pertumbuhan ekonomi didalam negeri bisa meningkat. Investor inilah yang malakukan kegiatan investasi secara tidak langsung sebagai kreditur dan bisa juga secara langsung melalui investasi. Melalui sisi penerimaan itulah negara melakukan ekspansi mendorong terjadinya konsumsi atau belanja yang tergambar dari sisi pengeluaran. Masalah pajak tidak di perhatikan sebagai sumber utama penerimaan. Sumber utama penerimaan dari hutang dan bagi hasil tambang.
Lantas mengapa ekonomi era Soeharto sampai bangkrut ? karena belanja pemerintah tidak menciptakan pemerataan dan kemandirian. Mengapa ? karena skema mensiasasti pertumbuhan ekonomi lewat konsumsi tidak dilakukan secara real sebagaimana hukum pasar. Segala galanya disubsidi oleh pemerintah. Dampak yang paling buruk dari adanya subsidi konsumsi ini adalah mematikan semangat kompetisi, dan ujungnya mematikan kreatifitas manusia untuk menghasilkan barang dan tekhnologi. Jadi walau banyak kampus di bangun tapi yang di hasilkan bukanlah mesin pertumbuhan tapi beban negara yang harus di ongkosi lewat subsidi konsumsi. Lembaga riset tidak menghasilkan tekhnologi terapan yang bisa mask kepasar.
Kalau sampai terjadi industrialisasi di Indonesia maka itu bukanlah hasil kreatifitas pasar tapi kembali lagi karena cara negara mensiasati belanja. Itu sebabnya industri substitusi impor berteknologi tinggi di miliki asing dan sementara industri padat karya hanyalah relokasi industri asing untuk memanfaatkan upah buruh murah tapi nilai tambah rendah. Jadi fundamental ekonomi Indonesia sangat rapuh sementara Mbah Harto terus menerapkan sistem anggaran berimbang. Dimana menempatkan hutang sebagai sumber penerimaan utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Mengapa ? karena Soeharto masih yakin SDA kita banyak. Jadi tetap akan menjadi daya tarik investor untuk memberi hutangan.
Tapi satu hal yang mbah Harto lupa bahwa kebijakan mata uang dengan kurs tetap ( Fixed rate ) dan kemudian diubah menjadi floating, adalah ancaman serius. Mengapa? karena akan mudah di intip oleh pemain hedge fund seperti Sorros. Artinya bisa langsung ketahuan boroknya. Gimana caranya ? Ya gampang. Tinggal hitung berapa impor dan berapa ekspor. Kalau lebih besar impor maka itu namannya defisit. Kalau terus terjadi difisit lebih besar daripada bayar cicilan hutang dan bunga maka Sorros tinggal ajak ngopi petinggi IGGI, “ Tolong tahan jangan beri indonesia pinjaman lagi. Setahun aja. “ Katanya.
“ Kenapa ?
“ Karena cadangan devisanya lebih besar berasal dari hutang bukan dari surplus perdagangan. “
“ Terus lue mau apain ?
“ Gua mau hajar mata uangnya. Nanti kalau ekonominya collapse, maka assetnya akan menyusut, perbankan akan jebol karena collateral nasabah juga menyusut. Likuiditas bank akan macet akibat nasabah engga bisa lagi bayar bunga dan cicilan hutang luar negeri. Maklum industri mereka kebanyakan substitusi impor dan industri padat modal untuk pasar domestik. Ruiah jatuh akan berdampak sistemik. "
Ketika deal terjadi maka Sorros langsung masuk kepasar lewat kontraki opsi atas mata uang utama seperti Yen dan USD yang menjadi andalan cadangan devisa kita. Kontraknya engga tanggung tanggung sampai USD 100 miliar. Itu sama dengan 3 kali devisa negara kita. Loh kok Sorros nekat? Karena dapat dukungan dari IGGI akan menghentikan pinjaman. Dan begonya lagi pejabat otoritas moneter kita melayani ulah Sorros dengan melakukan intervensi ke pasar. Ya saat itulah Sorros menikmati laba tak terbilang dari setiap aksinya. Setiap dia menang, kurs rupiah terjun dan menang lagi , terjun lagi. Setelah keadaan tak berdaya, Sorros tinggalkan bangkai itu untuk dinikmati oleh predator lain sepeti burung pemakan bangkai melumat asset yang ada dibawah BPPN dengan harga tulang doang.
Era SBY.
Ketika rezim reformasi terpilih dan berhasil menempatkan seorang presiden lewat pemilu langsung maka SBY harus menerapkan APBN dengan model I account. Ini standard Government Finance Statistic. Ia sudah menjadi standard dunia , yang bisa di ukur dan dianalisa oleh siapapun. Jadi lebih transfarance. Maka sejak itu ia sudah menjelma seperti Neraca Perusahaan yang mudah dibaca oleh publik. Pemerintah tidak bisa lagi sesukanya menentukan pos APBN.
Penerimaan hutang tidak dianggap sebagai penerimaan tapi masuk dalam pos pembiayaan anggaran dan bukan belanja negara. Didalam pos ini , solusi negara mengatasi difisit anggaran akan nampak dengan jelas ( transfarance). Seperti penjualan obligasi, privatisasi, pinjaman proyek, penjadwalan hutang, pembayaran cicilan hutang dan bunga. Semakin besar difisit semakin besar pos pembiayaan anggaran. Semakin besar beban hutang, semakin besar pengurangan pos belanja sosial negara. Seharusnya SBY jangan lagi melakukan kesalahan era Soeharto dimana SDA sebagai andalan. Tapi apa mau dikata? dengan terus naiknya harga minyak dan komoditias alam lainnya semakin membuat SBY percaya diri dengan menarik hutang lebih besar dan mendorong konsumsi lewat subsidi agar GNP naik.
SBY memang sukses menaikan GNP 4 kali lipat di banding awal dia berkuasa. Tapi lagi lagi SBY lupa bahwa hutang itu harus dibayar dari surplus neraca pembayaran. Ketika harga komoditas utama jatuh di pasar dunia, maka boroknya keliatan jelas. Peningkatan GNP akibat berhutang seharusnya 8% setahun tapi karena ekspor dikurangi impor minus 2 % maka peningkatan hanya 6%. Itu artinya uang overvalue, ya di hajar lagi oleh pemain hedge fund dengan menggoreng harga CDS kita di market. Jatuh lagi mata uang dan kita masuk era bukan hanya defisit perdagangan ( trade balance ) , tapi juga defisit APBN dan defisit current account.
Tapi belum sempat panik , situkang kayu bernama Jokowi menggantikannya. Nah silahkan anda bayangkan. Seandainya anda sebagai profesional terpilih sebagai dirut perusahaan. Yang anda hadapi didepan adalah penerimaan minus. Mau berhutang lagi bunga tinggi karena CDS tinggi. Karyawan kebanyakan bego dan culas. Pemegang saham kebanyakan jadi insider criminal. Harta banyak tapi untuk ngolahnya ongkos engga ada. Kerjasama investasi SDA engga bikin orang menarik karena harga jatuh. Coba dech gimana solusinya? Bayangkanlah bila andai Jokowi salah bersikap maka nasip Indonesia lebih buruk dari Venezuela yang kaya MIGAS tapi bangkrut, dan lebih buruk lagi dari Saudi yang defisit 30% terpaksa mengijonkan saham BUMN nya kepada pemain hedge fund..
Tapi situkang kayu bisa keluar dari lubang masalah, dan ini bukan karena dia hebat tapi karena dia smart yang berani ambi resiko politik dan percaya orang indonesia engga bego bego amat mau dibohongi kemakmuran pakai subsidi, kecuali memang ada juga yang bego kuadrat masih pengen semua murah dan kalau bisa gratis..tapi memang orang bego kuadrat umurnya panjang sebagai ujian orang waras dan bersabar itu indah..
BERSAMBUNG.
Sumber : Buku Jalan Sepi.
Pre order Elizar Bandaro Elizar
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home