Wednesday, July 5, 2017

Sajen

SAJIAN KEPADA SEMESTA DAN TAUHID YANG MENGHARGAI KOSMOLOGI

Dalam sebuah "taklim" yang menghadirkan seorang pemuka agama pada acara "Mimbar Agama Hindu" di TVRI pada pertengahan 80-an, sang pemuka agama memberikan beberapa penjelasan mengenai sesajen di masyarakat Bali yang hingga saat ini masih betul-betul saya ingat.( Beberapa tahun kemudian seorang pemuka Budha memberikan penjelasan mengenai Meditasi yang sampai saat ini masih menjadi salah satu bangunan persepsi saya mengenai Shalat) 

Dalam penjelasannya yang indah itu, sang Pinandita mengatakan bahwa konsepsi sesajen dalam asumsi-asumsi masyarakat Hindu-Bali tidak melulu selalu berarti ritus penyembahan (Sajèn Pisungsung), ia juga bisa jadi merupakan sikap sadar dalam rangka apa yang disebutnya "sedekah kepada semesta". Ia mengatakan bahwa dari apa yang mereka sebut sesajen tersebut, berapa banyak yang dapat mengambil manfaat dari keberadaannya mulai dari semut-semut terkecil hingga burung-burung dilangit yang mencari makan di bumi. Bahwa ditengah kesejahteraan yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka, mereka berkewajiban untuk bermurah hati -tidak hanya kepada manusia yang wajib dibantu dalam bentuk yang lain- namun juga kepada alam semesta dan penduduknya yang lain yang sering kita abaikan. Ia menggambarkan dalam gambaran yang sederhana namun indah sekali bahwa semua itu adalah dalam rangka mencoba menempatkan segala sesuatu dalam kerangka keseimbangan kosmologisnya yang semula sehingga apapun yang kita dapatkan harus kita kembalikan kembali kepada siapapun yang turut menyokong ketersediaannya termasuk juga kepada hewan-hewan dalam bentuknya yang paling kecil. Ini bukan hanya tindakan memupuk rasa welas asih namun juga peragaan kesadaran ekologis yang lembut sekali.   

Dahulu sekali, nenek moyang kita yang menyebarkan Islam dalam masyarakat agraris juga mengadopsi asumsi ini dalam bentuk sesajen / sesaji bancakan, sajen atau  bebono bagi hewan yang mencari makanan ataupun bagi musafir yang melakukan perjalanan dan bagi siapapun yang tersesat dan kelaparan di Hutan dalam bentuk ayam goreng, buah-buahan dan lauk pauk siapa santap di bawah pohon besar tempat berteduh bersamaan dengan kopi dan minyak wangi. Itu bukan hanya sebentuk sajian kepada sesama melainkna juga turut menjaga kelestarian hutan dan sumber air bukan hanya untuk kelestarian diri mereka sendiri melainkan karena tempat itu diperuntukkan bagi tempat tinggal danyang. Para ulama Nusantara terdahulu bahkan memperluasnya lagi dengan menggelar Kopi serta kembang yang diperuntukkan buat menjamu Jin yang tinggal di pohon-pohon besar (berdasarkan hadits, jin suka tinggal di rongga pohon).

Islam bagi mereka bukanlah tongkat kayu yang keras untuk menghantam dan meluruskan siapapun yang dalam asumsi mereka "bengkok" melainkan seperangkat alat yang disajikan Tuhan untuk menyaring berbagai spektrum dan mengarahkan orientasi budaya yang sudah ada kepada tujuan dan motivasi-motivasi yang beroritentasi Tauhid. Para ulama Nusantara tidak merubah bungkusnya yang baik itu karena Islam sendiri menghadirkan konsep sedekah yang menjanjikan balasan surga bahkan sekalipun itu hanya dalam bentuk menanam pohon yang buahnya dimakan burung atau bintang melainkan juga jika ia dijadikan tempat berteduh orang yang melintas.

Islam yang semacam ini justru berangkat dari Istidlal serta Istinbath yang canggih sekali dalam format bertindak yang sederhana, aplikatif namun penuh makna dan tentu saja berorintasi Kosmologis. Islam Nusantara yang menjejak bumi dan bukan sekedar mengadirkan ritus. Apa yang dilakukan para ulama terdahulu bukan mengganti semua kebiasaan yang lama dan memberinya budaya tandingan.Mereka ramah dengan keadaan dan dalam kesadaran itu (dalam konteks sesajen) mereka bahkan mengadopsi semua kebiasaan di suatu tempat dan kemudian menyuntikkannya dengan motivasi-motivasi penghambaan yang berorintasi Tauhid kepada Allah namun tetap dalam kerangka sedekah untuk "berbuat baik kepada Semesta". Persis seperti saat Rasulullah tidak menghapus Ibadah haji dan Tawaf yang dilakukan oleh pemuja berhala melainkan mengadopsi nilai Universalnya dan membersihkannya dari Syirik dengan menyuntikkan orientasi baru yang bertauhid.

Problem baru muncul saat "asumsi-asumsi pengertian bertindak" semacam ini tidak tersampaikan dengan baik lintas generasi sehingga apa yang dalam asumsi pendahulu kita itu bahwa "Sesajen" adalah "Sesajian/penyajian/Jamuan" dari Hamba Allah kepada sesama hamba Allah lainnya di alam, menjadi praktek penyembahan atas entitas ghaib yang tidak jelas.

Ketidak pahaman atas asumsi semacam ini ditambah masuknya modernitas yang serba materialistik serta masuknya persepsi-persepsi Islam yang puritan, menjadikan sesajen terkesan sama dengan menyembah berhala..

#Status yang terinspirasi Status Mas Dandhy Dwi Laksono

...
CIPTAGELAR EFFECT. Stok mi instan diserang tikus. Sebelum kenal Kasepuhan Ciptagelar, yang akan saya lakukan adalah membuangnya, memindahkan yang lain, lalu memasang jebakan atau lem tikus.

Tapi di Ciptarasa Ciptagelar mengajarkan bahwa tikus bukan hama. Yang dimakan tak seberapa dibanding konsumsi kita dan konsekuensinya pada lingkungan. Konsepnya bukan mengusir, tapi berbagi dengan "memberi jatah".

Lumbung atau leuit memang didesain agar tak bisa dipanjat tikus, tapi jatah mereka juga disiapkan. Jika jatahnya sudah disiapkan, ia tak akan mengincar yang lain.

So, saya coba terapkan dalam kasus ini. Mi instan yang kadung diserang tidak dibuang. Yang masih utuh juga tak dipindah. Hasilnya, tikus tidak menyerang yang masih utuh, melainkan sedikit demi sedikit menghabiskan yang sudah ada. Dia tak seperti kita yang terus berkespansi, meski apa yang dimilikinya masih ada.

Mungkin setelah bungkus pertama habis, dia akan menyerang bungkus kedua dan seterusnya. Tapi sejak eksperimen ini, serangannya pada target lain, langsung mereda. Lauk yang ditinggal di meja kini tak diacak-acak. Biasanya, meski ditutup, ada saja upayanya untuk membuka.

Barangkali inilah konsep "sesajen" atau "sesaji" yang dianut masyarakat agraris. Lalu datanglah agama-agama baru dengan berbagai label dan stigma terhadap hal ini.

Karena sudah tak memiliki pengetahuan apapun tentang berdamai dengan ekosistem, lalu manusia yang merasa sudah beriman ini berpindah ke pestisida. Pestisida mengusir hama, tapi juga meracuni tanaman. Dalam jangka panjang, dosis pestisida terus ditambah karena hama mulai beradaptasi dan kebal. Makin tinggi dosisnya, makin teracuni tanaman yang kita makan.

Lalu dalam jangka panjang memicu penyakit seperti kanker.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home