Taktik sarang lebah
WartaNasionalDaerahInternasionalKeislamanUbudiyahSyariahBahtsul MasailKhotbahHikmahTaushiyahDoaTokohFragmenPesantrenOpiniSeni BudayaPuisiCerpenRisalah RedaksiWawancaraPustakaHumorPendidikan IslamQuote IslamiKajian KeagamaanAnti HoaxTentang NU
Share
Benarkah ISIS Produk Konspirasi Barat?
Mahbib, NU Online | Jumat, 20 November 2015 09:00
Oleh Akromi Mashuri
Kabar menyengat itu berhembus dari Paris, Prancis, Jumat 13 November 2015. Untuk kesekian kalinya dunia kembali digemparkan oleh aksi brutal yang menewaskan ratusan nyawa manusia tak berdosa. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mengklaim bertanggung jawab atas serangan paling mematikan pasca perang dunia kedua ini. <>Kabar tersebut sontak membuat dunia tercengang dan sejenak terdiam. Dalam waktu sekejap pasca serangan tersebut, ungkapan duka dan simpati dari masyarakat dunia menjadi trending topik di berbagai media cetak dan online.
Selain ungkapan duka dan simpati yang begitu besar dari masyarakat dunia, tragedi di Paris ini memunculkan beragam reaksi dan spekulasi. Reaksi mengutuk keras terhadap pelaku teror tak cuma datang dari negara-negara Barat, tapi juga dari negara-negara timur tengah seperti Iran, Palestina dan Libanon. Bagi masyarakat muslim, kejadian ini tentu saja memunculkan perasaan kagok atau tak enak hati karena setiap kali terjadi aksi-aksi terorisme selalu dikaitkan dengan kelompok teror yang mengatasnamakan Islam. Tak sedikit pula respon nyinyir datang dari sekelompok orang yang dengan begitu cepat menyimpulkan bahwa kejadian ini adalah rekayasa Amerika dan Zionis Israel. Benarkah demikian?
Teori Konspirasi
Mantan pegawai National Security Agency (Badan Keamanan Nasional) Amerika Serikat, Edward Snowden, menyatakan jika ISIS merupakan organisasi bentukan hasil kerja sama inteligen tiga negara. Pernyataan Snowden itu terungkap dalam kawat dari Global research, sebuah organisasi riset media independen di Kanada. Menurut Snowden, satuan inteligen Inggris (M16), AS (FBI-CIA), dan Israel (Mossad) bekerja sama menciptakan sebuah “negara kekhalifahan” yang kini bernama ISIS. Menurut Snowden, badan inteligen dari tiga negara tersebut membentuk sebuah organisasi teroris untuk menarik semua ekstremis dari seantero dunia. Mereka menyebut taktik tersebut dengan nama “sarang lebah”. Dokumen NSA yang dirilis Snowden menunjukkan bagaimana taktik sarang lebah tersebut dibuat demi melindungi kepentingan zionis dengan menciptakan slogan Islam. Berdasarkan dokumen tersebut, satu-satunya cara melindungi kepentingan zionis adalah: menciptakan musuh di perbatasan.
Taktik tersebut dibuat demi menempatkan semua ekstremis dalam satu tempat yang sama, sehingga mudah dijadikan target. Tak hanya itu, adanya ISIS akan memperpanjang ketidakstabilan di Timur Tengah, khususnya di negara-negara Arab. Masih berdasarkan dokumen tersebut, pemimpin ISIS Al-baghdadi pun mendapatkan pelatihan militer setahun penuh dari Mossad, sekaligus mendapatkan kursus teologi dan retorika dari lembaga intelijen zionis itu.
Bagi banyak orang, Edward Snowden adalah pahlawan. Untuk pemerintah AS, dia dianggap penghianat karena mengungkap praktek penyadapan internet yang dilakukan dinas rahasia NSA. Snowden, sang pembocor rahasia “whistleblower”disatu sisi dipuja bak pahlawan, disisi lain diburu oleh otoritas negaranya sendiri. Dalam banyak kasus, whistleblower biasanya tidak akan dimaafkan oleh pihak yang merasa tak nyaman dan terancam oleh keberadaannya. Dalam kasus Snowden, Amerika Serikat sebagai pihak yang dirugikan sampai sekarang terus mengejar Snowden dan berusaha menangkapnya. Lalu, dimana Snowden sekarang? Belakangan tidak banyak lagi berita yang beredar tentang Edward Snowden, sang pembocor dokumen-dokumen rahasia NSA yang sempat menggemparkan dunia. Sejak 1 Agustus 2013, ia mendapat perlindungan suaka politik di Rusia untuk satu tahun. Sampai saat ini masih belum jelas bagaimana kelanjutan status Snowden di Rusia. Juga tidak diketahui apa saja yang dilakukan Snowden sehari-hari selama ini. apakah ia bekerja di suatu tempat, dan di sektor mana?
Kemunculan Snowden yang sempat menggemparkan dunia seolah menjadi justifikasi para penganut teori konspirasi bahwa Barat-lah (baca: AS dan sekutunya) para konspirator dibelakang layar yang memanipulasi serangkaian peristiwa-peristiwa politik yang mengaitkan Islam dengan Terorisme. Barat pula yang dengan sengaja mengadu domba dan memecah belah persatuan umat Islam. Mereka para penganut teori ini juga percaya, misalnya, bahwa peristiwa 11 September (WTC) sudah dirancang sedemikian rupa oleh Amerika Serikat dibawah rezim George.W. Bush sebagai justifikasi politik untuk melakukan invansi ke Iraq. Pertanyaannya, benarkah teori tersebut memang ada?
jika teori konspirasi atau persekongkolan kita kaitkan dengan hal-hal kecil sehari-hari, teori tersebut memang benar adanya. itu bisa dibuktikan misalnya, saat kita main poker dengan jumlah pemain 5 orang, maka kita dapat melakukan konspirasi terhadap 3 pemain lainnya, sehingga hasil dari kekalahan 1 pemain yang merupakan calon korban konspirator dapat dibagi berempat, dan cara itu biasa dilakukan oleh pejudi-pejudi terkenal.
Dengan merujuk Edward Snowden sang pembocor rekayasa Barat atas ISIS sebagai justifikasi, dan melihat fakta bahwa persengkokolan memang benar ada dalam kehidupan manusia, meski terlihat dalam hal kecil seperti bermain poker diatas, sekilas hal-hal yang complicated akan nampak menjadi sederhana. Bagi para pemuja teori konspirasi , tanpa dukungan argumentasi yang kuat, fakta akurat, data ilmiah, pendapat yang bisa diverifikasi kebenarannya, tokoh-tokoh nyata yang terlibat, tragedi besar seperti di WTC dan di Paris seolah menjadi peristiwa yang korban dan pelakunya adalah mereka sendiri (by design). Para pemuja teori ini, yang biasanya enggan atau malas mengkaji persoalan lebih mendalam, mereka akan dengan mudah menyimpulkan dulu, bukti-bukti akan dicari-cari (dipaksakan) kemudian.
Ketika cara berpikir memaksakan bahwa negara-negara Barat lah di balik tragedi Paris, dan ISIS adalah ciptaan Barat, maka sama artinya dengan menuduh Prancis berkonspirasi membunuh warganya sendiri. Sekeji itukah pemerintah Prancis terhadap warganya sendiri? Kita tidak bisa memastikan apakah tragedi di Paris merupakan hasil rekayasa Barat atau bukan. Jika iya, kenapa harus Barat yang selalu dikaitkan dengan teori konspirasi? Kenapa bukan Arab Saudi, Turki, atau Qatar? Kalau kita mau fair, Saudi dan sekutunya juga patut kita curigai sebagai dalang di balik aksi teror yang dilakukan ISIS, kenapa? Karena negara-negara teluk seperti Saudi, Turki, atau Qatar juga memiliki kepentingan dalam menjalankan perang proxy melawan Assad dan sekutunya, Iran. Saudi dan sekutunya mungkin saja menggunakan ISIS yang Sunni untuk menghabisi Suriah di bawah rezim Assad yang Syi’ah. Saudi juga sangat mampu jika harus mendanai semua logistik yang diperlukan ISIS dengan kekuatan petro dolarnya. Tapi, untuk apa kita mengkotak-kotakkan Barat dan Islam yang hanya akan membuat kita terjatuh pada Occidentophobia (benci Barat) dan Islamophobia (benci Islam).
Belajar Welas Asih
Terlepas dari benar atau tidaknya konspirasi Barat atas aksi teror di Paris baru-baru ini, umat Islam perlu bersikap arif dalam menyikapi fenomena aksi teror yang membawa nama Islam akhir-akhir ini. Sangat tidak elok rasanya bila membanding-bandingkan tragedi di suatu tempat dengan tragedi di tempat lain. Rasa kemanusiaan tidak bisa dibeda-bedakan atas dasar agama, tempat, atau statistik jumlah korban. Kemanusiaan bersumber dari fitrah dan kesadaran akan sesama manusia. Sikap kita yang sepatutnya tentulah berempati dengan tulus dan mengutuk pelaku aksi teror tersebut. Kalaupun ada sikap atau perlakuan yang mediskreditkan Islam oleh sekelompok masyarakat Barat, kita tidak perlu terpancing untuk bereaksi dengan aksi-aksi protes atau kemarahan. Kita perlu belajar tentang prinsip welas asih yang telah dicontohkan oleh banyak tokoh sejarah yang namanya mendunia hingga kini. Isa a.s. dengan “berikan pipi kirimu jika pipi kananmu ditampar”, atau Gandhi yang melarang “mata dibalas mata”, sebab jika itu dilakukan dunia akan menjadi buta. Prinsip welas asih yang diajarkan Isa a.s. dan Gandhi itu jelas sangat kita butuhkan dalam menyikapi begitu banyaknya gejolak egoisme buta yang terjadi hampir setiap hari disekeliling kita.
Kita memahami sepenuhnya bahwa rentetan aksi keji yang dilakukan ISIS sangat melukai perasaan umat Islam di seantero dunia, dan tentu saja semakin menghadapkan umat Islam pada posisi yang amat sulit saat ini, khususnya umat Islam yang tinggal di eropa. Dalam momen yang sulit ini, tak lantas membuat hilangnya rasa kemanusiaan kita. Tidak melulu Barat itu salah, begitupun sebaliknya. Bukankah Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk mengambil hikmah (kebajikan) dari siapapun meski hikmah tersebut datang dari orang kafir?. Disadari atau tidak, kita semua ini disatukan oleh kemanusiaan bukan keTuhanan, karena setiap manusia memiliki asumsi sendiri tentang Tuhan, sedangkan kemanusiaan sama. Wallahu a’lam
Akromi Mashuri, Kader muda NU; Pemerhati Politik Islam
Baca Juga
Teror Bom di Paris: Catatan Singkat
Peran NU dalam Menangkal Radikalisme
Peran NU dalam Proses Perdamaian di Afghanistan
Membaca Jejak Pergerakan Islam Pasca-Reformasi
KONTAK
Nahdlatul Ulama
Jl. Kramat Raya 164
Jakarta 46133 - Indonesia
redaksi[at]nu.or.id
MEDIA PARTNER
© 2016 NU Online. All rights reserved. Nahdlatul Ulama
Labels: strategi
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home